Menyoal RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi

DPR sedang melakukan uji kepada masyarakat terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Media massa kebanyakan memperlihatkan bahwa masyarakat menolak RUU tersebut. Apa pasal? Menurut mereka yang menolak, isi dari RUU tersebut bisa dinterpretasikan banyak hal dan bisa membuat masyarakat main hakim sendiri terhadap apa yang mereka anggap sebagai pornografi dan pornoaksi. Salah satu pendemo yang terlihat di televisi mengacungkan papan yang berisi tulisan ‘kalau sudah berlaku undang-undang tersebut, kita tidak bisa lagi pakai lipstik di depan rumah’. Sampai sedemikian rupakah multi interpretasi yang bisa diambil dari bunyi RUU tersebut? Tapi kalo dipikir-pikir, ngapain juga pake lipstik di depan rumah? MO pamer? Bukankah yang namanya berdandan itu kegiatan pribadi yang gak perlu dilihat banyak orang? Kecuali kalo memang lagi demo kecantikan...

Well, kembali kepada demo terhadap RUU APP. Apa si yang ditolak dari RUU tersebut? RUU-nya ato isinya? Menurut aku pribadi, kalo ada yang tidak setuju dengan adanya RUU APP, maka orang tersebut bisa dikatakan tidak peduli terhadap pornografi yang ada banyak dinegara ini. Mulai dari buku, komik, sampai film, dsb. Atau bahkan dengan adanya RUU tersebut malah menghambat dirinya dalam... ya you know lah... Tapi, lain halnya kalau yang ditolak adalah redaksional dari isi RUU tersebut. Kalau memang multiinterpretasi, marilah duduk bersama untuk membuat redaksi yang bisa diterima oleh semua orang. Yang bisa mengakomodasi mereka yang berasal dari budaya yang berbeda, nilai yang berbeda.

Kalau memang punya semangat yang sama untuk membuat RUU APP yang bisa diterima oleh semua kalangan, ya duduk bareng lah... bagaimana kiranya rumusan yang bisa diterima oleh semua orang. Yang terekspos saat ini kan hanya bahwa mereka menolak. Titik. Tidak ada terlihat usaha untuk memberikan usulan yang dianggap lebih bisa diterima. Saya salut dengan anggota fraksi PDS dan PDIP yang keluar dari panitia RUU tapi kemudian masuk lagi dengan membawa usulan RUU versi mereka. Walopun sempat kena tegur dari ketua MPR, tapi menurut saya itu lebih baik, dibandingkan walkout tapi gak kasih solusi. Mereka yang diluar sana masih teriak-t eriak menolak, kasih lah solusi yang menurut anda lebih baik!

Buat bapak-bapak dan Ibu di MPR –DPR sana yang sangat peduli dengan masalah pornografi dan pornoaksi, perlu juga dicermati bahwa untuk membawa masyarakat menuju perubahan yang dianggap lebih baik, cara bedol desa (alias langsung pol polan tidak bertahap) tidak akan efektif. Ingat lah pada jaman Nabi Muhammad saw, kalo gak salah, upaya pelarangan minum khamar dilakukan secara bertahap. Mulai dari dilarang sholat pada saat mabuk, hingga kemudian turun ayat yang langsung melarang penuh minum khamar. Kalo dicermati sekarang, kenapa demikian? Karena minum khamar pada saat itu adalah budaya. Untuk mengubah budaya, perlu bertahap.

Undang-undang bisa diamandemen bukan? Buatlah penekanan pada poin-poin yang memang urgen untuk kondisi saat ini. Hal-hal lain yang belum krusial saat ini, silahkan ada akomodasi. Masyarakat kita adalah masyarakat pembelajar bapak dan ibu. Suatu saat nanti, apa yang sekarang dianggap sebagai kebebasan pribadi, kebebasan berekspresi, budaya yang ada benih benih atau setidaknya sentuhan pornografi dan pornoaksinya, pasti akan dianggap jelek atau bahkan tabu bagi para penganutnya. Berikan pula kami masyarakat ini suri tauladan yang baik, terkait unsur-unsur pornografi dan pornoaksi ini. Bahwa anda-anda yang berada di pucuk kekuasaan, pemegang kebijakan juga menghindari hal-hal ini. Wallahu’alam bissawab

Komentar

Postingan Populer