Gratifikasi Spiritual

Menarik ya istilahnya? Saya menemukan istilah ini saat saya membaca buku berjudul Teologi Korupsi yang ditulis oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar. Gratifikasi spiritual masuk dalam salah satu jenis gratifikasi menurut beliau. Yang mendasari istilah ini adalah kisah Abu Hurairah dengan seorang maling dalam suatu hadis shahih yang diambil dari Shahih al-Bukhari, Juz 3 No. 2311, h.101. Berikut adalah kutipan langsung dari tulisan Prof. Nasaruddi Umar mengenai kisahnya...

Dalam satu hadis shahih diceritakan, Rasulullah saw., meminta Abu Hurairah sebagai penanggung jawab Baitul Mal agar waspada, karena nanti malam akan ada orang datang untuk mencuri harta di dalamnya. Akhirnya Abu Hurairah meronda di sekitar gudang Baitul Mal. Lewat tengah malam, betul-betul Abu Hurairah memergoki seorang maling mencuri gandum. Maling itu ditangkap lalu mengiba agar segera dilepaskan, karena apa yang dilakukannya semata-mata hanya ingin memberi makan sehari keluarganya yang betul-betul kesulitan. Ia mau mengembalikan gandum itu dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Akhirnya rasa iba Abu Hurairah muncul dan melepaskan maling itu. Menjelang shalat subuh, Rasulullah saw., menanyai Abu Hurairah perihal maling yang datang semalam. Abu Hurairah menjelaskan bahwa memang benar ada maling tetapi malingnya sudah dilepas karena ia mengaku terpaksa mencuri karena sangat terdesak untuk kebutuhan keluarganya. Rasulullah saw., kembali mengingatkan kalau nanti malam Abu Hurairah masih harus waspada karena masih akan ada maling yang datang ke Baitul Mal.
Keesokan malamnya, Abu Hurairah betul memergoki seorang maling di gudang yang sama, dan ternyata malingnya itu juga yang datang kemarin. Dengan gaya yang sangat meyakinkan, si maling memohon maaf dan berjanji untuk betul-betul tidak akan melakukan lagi perbuatannya. Apa yang dilakukannya semata-mata karena desakan perut keluarga yang sedang kelaparan. Akhirnya Abu Hurairah terpancing dengan alasan si maling, ia kembali melepaskan maling itu. Menjelang shalat subuh Rasulullah saw., kembali menanyakan bagaimana keadaan gudang semalam. Abu Hurairah menjawab secara jujur bahwa memang betul, ada maling yang kepergok semalam dan maling itu sama dengan kemarin, ia terpaksa melakukannya karena terdesak dan kembali dilepaskan. Rasulullah saw., kembali mengingatkan, agar Abu Hurairah waspada sebab nanti malam masih akan ada maling yang datang di gudang Baitul Mal.
Keesokan malamnya, Abu Hurairah betul-betul dikagetkan dengan maling yang datang di tempat yang sama dan lebih kaget lagi kalau orang yang bersumpah untuk tidak akan melakukan perbuatannya itu ialah dia lagi. Kali ini Abu Hurairah marah. Ia mengatakan, kali ini anda tidak akan saya loloskan lagi. Anda harus mempertanggungjawabkan perbuatan di depan hukum. Si pencuri tidak mau kehilangan akal. Ia berusaha menyentuh emosi spiritual Abu Hurairah dengan memohon maaf akan segala perbuatannya. Si pencuri pun rela diadukan ke pengadilan. Si pencuri mengatakan, sebelum engkau menyerahkan aku ke pengadilan, izinkan saya memohon maaf dan berterima kasih kepada Abu Hurairah karena sudah dua hari berturut-turut memaafkan dan melepaskannya. la menawarkan kepada Abu Hurairah: "Maukah aku ajarkan sebuah ilmu yang jika engkau mengamalkannya pasti engkau tidak akan diganggu setan atau iblis, bahkan kalau engkau membacanya mereka akan lari terbirit-birit ketakutan sampai ke ujung langit." Abu Hurairah penasaran dan minta diajarkan ilmu tersebut. Lalu si pencuri ini mengajarkan: "Bacalah ayat kursi (sambil melafazkan dengan fasih ayat kursi itu sampai terakhir), niscaya setan dan iblis itu akan lari menjauh darimu". Abu Hurairah berfikir, ini bukan maling sembarangan. Ilmu yang diajarkannya masuk akal, karena Nabi memang pernah menjelaskan kalau ayat kursi mempunyai beberapa keistimewaan. Atas kebaikannya, maka Abu Hurairah melepaskan maling itu. Menjelang shalat subuh, Rasulullah saw., kembali menanyakan perihal maling itu. Dijawab oleh Abu Hurairah, bahwa betul ya Rasulullah, semalam datang lagi dan saya lepas karena ternyata bukan maling biasa. Dia mengajari aku ilmu yang baru bagiku tentang ayat kursi. Nabi akhirnya menjelaskan bahwa yang menyamar jadi maling itu ialah iblis. Ia bisa memperdayai orang dengan berbagai cara, termasuk gratifikasi ayat kursi.
Gratifikasi spiritual iblis kepada Abu Hurairah telah betul betul membuatnya menyesal. ...


Prof. Nasaruddin Umar tidak memberikan definisi apa yang dimaksudnya dengan gratifikasi spiritual. Beliau lebih banyak bicara mengenai contoh-contoh yang menurutnya perwujudan gratifikasi spiritual. Menurut beliau, perilaku serupa terjadi juga dimasyarakat kita. Ada orang-orang yang menyambangi tokoh-tokoh spiritual pada saat ada hajat besar untuk memohon bantuan sang tokoh spiritual. Sang tokoh bersedia membantu dengan caranya sendiri dengan catatan tentu saja... Bila hajatnya tercapai maka tokoh spiritual tersebut akan menyebutkan permintaan kepada pemohon, yang mau tidak mau harus dikabulkan karena sudah membantu. Tokoh spiritual bisa saja membawa orang-orang tertentu agar bisa mendapatkan proyek, membawa anggota keluarga untuk mendapatkan posisi tertentu, minta diumrohkan, dan berbagai permintaan lainnya. 

Prof. Nasaruddin Umar juga mengingatkan kita bahwa pejabat yang sering mengunjungi tempat-tempat sakral seperti pondok pesantren yang dipimpin oleh kiai ataupun pemilik padepokan spiritual yang dianggap mumpuni bisa saja terindikasi mendapatkan gratifikasi spiritual. Tentu saja indikasi ini muncul bila pejabat tersebut memberikan perintah-perintah untuk memberikan kemudahan atau keistimewaan bagi pesantren miliki kiai ataupun padepokan spiritual yang dikunjunginya, tanpa ada dasar aturan yang jelas ataupun tidak ada dalam rencana kerja yang menjadi kewenangan si pejabat.

Berkaca pada kisah Abu Hurairah ini, menurut saya gratifikasi spiritual adalah pemberian seseorang dalam bentuk doa ataupun petuah-petuah agama yang menyejukkan hati yang membuat kita menilai bahwa orang tersebut adalah orang baik yang tidak mungkin sengaja berbuat jahat, sehingga kita mengabaikan kesalahan yang diperbuat. Apa yang terjadi pada Abu Hurairah dalam hadis shahih tersebut menunjukkan bahwa sebagai manusia beragama, kita berpotensi untuk mengabaikan suatu kejahatan dengan alasan yang menurut kita masih bisa ditolerir jika dikaitkan dengan agama. Seperti yang disampaikan dalam kisah, karena diajarkan ayat kursi, Abu Hurairah melepaskan maling yang sudah tiga kali berturut-turut mencuri, padahal perilakunya salah. 

Kisah ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa kesholehan seseorang tidak berarti membuat dia memiliki hak istimewa dibandingkan warga negara yang lain. Kesholehan seseorang tidak berarti bahwa ia bisa membuat pejabat menyalahgunakan wewenang yang dimiliki. Penduduk Indonesia yang memiliki keterikatan yang kuat dengan keberagamaan dan spiritualitas, perlu menyadari hal ini. Bahwa perbuatan yang salah, tetaplah salah siapapun orangnya.

Pada saat orang sholeh yang kita kenal, mendorong kita melakukan mengabaikan kesalahan yang dibuatnya atau membuat kita menyalahgunakan wewenang yang kita miliki, disinilah kita sebenarnya sedang mendapatkan ujian integritas. Apakah kita berani menegur dan menindak kesalahan yang dilakukannya? Apakah kita akan memaksakan kewenangan kita demi menyenangkan orang tersebut? Seperti yang disampaikan Nabi Muhammad saw. setelah Abu Hurairah melepas maling yang sama untuk ketiga kalinya, ketika kita mengalami situasi seperti dalam cerita Abu Hurairah ini, jangan-jangan kita sedang berhadapan dengan Iblis yang sesungguhnya.

Wallahu'alam bishshawwab...




Suatu perilaku yang salah, tidak akan membuatnya menjadi benar apapun alasan dibalik perilaku tersebut.





Komentar

Postingan Populer